Mendaki Gunung Cikuray Di Malam Jumat Kliwon
Pendakian di Gunung Cikuray di tahun 2014 menjadi salah satu pendakian yang penuh kenangan sekaligus menyeramkan yang saya alami.
Mobil carteran yang kami tumpangi berhenti. Mesin berderu kencang. Pak supir masih menancap gasnya tapi mobil tetap tak bergerak naik. Jalan bebatuan yang terjal memaksa tujuh orang di antara kami untuk turun dan membantu mendorong. Berhasil. Mobil kembali bergerak naik walau hanya beberapa meter.
Untuk kedua kalinya, mobil yang kami tumpangi kembali berhenti. Kami bersebelas memutuskan untuk turun dan membantu mendorong. Kali ini saya terpaksa turun. Padahal seharusnya mobil Carry keluaran tahun 90 ini masih cukup prima untuk melewati medan tak terlalu berat seperti ini.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Hawa semakin dingin dengan penerangan yang minim. Sempurna, gumam saya dalam hati. Dari sudut mata saya melihat sesosok perempuan tak melepaskan pandangannya dari saya. Ia berdiri di depan mobil sebelah kiri. Tanpa senyum, sekilas saya lihat ada kesedihan di wajahnya. Pakaiannya tak seperti seorang pendaki. Rambutnya sebahu, sedikit kumal, dan tak tampak kedinginan sama sekali.
Saya tahu ini janggal. Seorang perempuan tanpa rombongan. Ternyata ini penyebabnya, pikir saya. Perempuan itu yang menghentikan mobil kami. Saya bungkam untuk menghindari kepanikan anggota lain. Beberapa menit kami berusaha, akhirnya mobil sampai juga di pos pemancar—pos untuk pendaftaran para pendaki.
Perjalanan kami tempuh dari Jakarta menuju Garut dengan sebelas orang anggota. Sengaja kami pilih Gunung Cikuray karena dari 11 orang anggota, baru dua orang yang pernah mendaki gunung ini. Sekitar pukul 11 malam, masing-masing anggota merapikan bawaan dan beristirahat.
Kami memulai pendakian saat matahari terbit. Perjalanan normal untuk pemula kurang lebih dapat ditempuh 6 jam dari pos pemancar sampai pos terakhir, yaitu pos 6. Lalu dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam lagi untuk sampai puncak. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang dan kami baru setengah perjalanan.
Hal aneh lain kami jumpai. Kami melihat ada uang receh berserakan di tanah. Kami cukup heran karena kami mendaki di hari kerja dan belum melihat rombongan lain, bahkan kami tak berpapasan dengan siapapun. Lalu kenapa ada uang receh berceceran di sini? Bukan hanya di satu tempat, tapi di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di pos 3, salah satu dari anggota kami bernama Wagen tumbang. Ini benar-benar aneh, padahal sepanjang jam terbangnya mendaki, Wagen tak pernah sekalipun mengalami kondisi seperti ini. Postur tubuhnya tegap, fit, dan melakukan persiapan fisik yang cukup, kini terlihat lemah. Keringat bercucuran. Sekujur tubuhnya dingin.
Kami berhenti sejenak, beristirahat sambil mendiskusikan apakah kami akan melanjutkan perjalanan atau memutuskan untuk turun. Hasil kesepakatan adalah tetap melanjutkan perjalanan, namun kami beristirahat dulu agak lama. Membuat makanan, baru melanjutkan kembali perjalanan kami.
Sekitar pukul 2 siang, kami tiba di pos 6 dengan tiga anggota kami yang sudah tumbang. Kondisi ini membuat kami segera mengubah rencana. Semula kami ingin mendirikan tenda di puncak Cikuray, tapi akhirnya kami memutuskan untuk membangun tenda di pos 6 saja. Luas camping ground di tempat ini kira-kira setengah lapangan bulutangkis. Satu sisinya langsung mengarah ke jurang. Kami mendirikan tiga tenda dengan formasi 4-4-3. Saya menempati tenda berkapasitas 3 orang dengan dua rekan saya.
Kira-kira pukul 9 malam, saya dan dua rekan lain sama-sama terbangun. Kami mendengar derap kaki serombongan orang berlarian mengelilingi tenda kami. Ya, mereka mengelilingi tenda kami tanpa penerangan, tanpa takut terjatuh ke dalam jurang sedikit pun. Sayup-sayup terdengar beberapa orang menyanyikan lagu. Suara di luar lalu berubah menjadi seperti untaian kain yang dikibas-kibaskan di atas tenda. Tubuh kami kaku. Suara angin berputar kencang tapi sama sekali tak menggoyangkan tenda kami. Kejadian itu berlangsung selama 10 menit. Kami takut tapi tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berlindung di dalam sleeping bag sampai suara tersebut menghilang.
Pagi hari, 10 orang anggota lain telah siap menuju puncak. Kami sepakat tak membahas apa yang terjadi semalam. Setelah sarapan dan mengumpulkan energi, mereka bergerak menuju puncak. Seperti biasa, saya yang kebagian menjaga tenda dan menyiapkan makanan sebelum turun siang ini.
Satu jam berlalu, seorang laki-laki berusia sekitar 70 tahun berjalan turun dari kejauhan. Ia tak membawa apa-apa. Mungkin memang penduduk lokal yang naik sejak subuh. Laki-laki berambut putih itu tak menunjukkan wajah lelah sama sekali. Ia berjalan melewati dan saya menyapa saya, lalu ia turun terus.
Tiga jam kemudian, dua orang rekan saya sudah kembali ke pos 6. Saya menanyakan tentang laki-laki tua yang tadi menghampiri saya, ternyata mereka kompak menjawab tidak melihat siapa-siapa. Sampai semua rekan saya berkumpul di pos 6, semua tak ada yang melihat orang asing itu di jalur pendakian maupun di puncak.
Pukul 12 siang, kami telah selesai merapikan tenda dan barang-barang, lalu bersiap untuk turun. Sekitar pukul 4 sore kami sampai di pos pemancar dan siap untuk pulang. Mobil sewaan kami pun melaju kembali ke Jakarta. Di perjalanan pulang, baru saya bercerita tentang perempuan yang saya lihat malam sebelumnya. Sang supir yang merupakan ranger Gunung Cikuray baru menceritakan bahwa mobil yang kami sewa ini pernah digunakan untuk mengangkut korban kecelakaan pesawat Sukhoi yang jatuh di Gunung Salak tahun 2012 lalu.
Ternyata perempuan yang menghentikan kami malam itu adalah salah satu korban yang belum ditemukan. Arwahnya tak tenang. Ia beberapa kali menampakkan diri kepada para ranger untuk minta dicarikan jasadnya di Gunung Salak. Sedangkan laki-laki asing yang menyapa saya di pos 6 merupakan salah satu penunggu Gunung Cikuray. Sementara tentang suara derap kaki itu, kami semua mendengarnya. Kami baru sadar kalau ternyata kami mendaki di malam Jumat kliwon dalam tanggalan Jawa. Kejadian ini membuat kami lebih memerhatikan tanggalan Jawa saat menentukan waktu pendakian.
Sumber: womantalk